Beberapa bulan belakangan, ramai kubaca ulasan mengenai sebuah destinasi wisata baru di Jogja. Namanya Tebing Breksi. Terletak di Dusun Groyokan, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY. Kurang lebih 1 kilometer sebelum Candi Ijo. Merupakan sebuah bukit kapur yang menjadi sumber mata pencaharian warga. Mereka biasa menambang batu sebagai bahan bangunan di sana. Namun, sejak tahun 2015, penambangan dilarang oleh Pemerintah dikarenakan dari hasil penelitian diketahui bahwa batuan kapur breksi di sana ternyata adalah endapan abu vulkanik dari Gunung Api Purba Nglanggeran. Maka, kawasan ini masuk dalam cagar budaya dan harus dilestarikan.
Membaca ini, ingatanku kembali kepada pengalaman beberapa tahun silam ketika ketika berkunjung ke Candi Ijo. Aku sempat melihat di sepanjang jalan menuju ke sana, kesibukan warga dalam mengolah bebatuan alam. Karena hanya melihat sambil lewat, tak begitu kuperhatikan apa yang mereka olah. Pikirku itu hanya semacam kegiatan pengolahan batu biasa saja. Ternyata, itu adalah bebatuan alam yang sekarang sudah dilarang untuk ditambang.
Larangan pemerintah tersebut, ternyata tak memutus kreativitas warga. Melihat tebing bekas penambangan, warga sekitar punya ide lain. Ide muncul, tatkala melihat bekas-bekas galian meninggalkan gurat-gurat yang indah. Perpaduan warna putih berkilau semburat kuning dan coklat dalam bidang tebing yang begitu luas, memberikan panoramik yang menarik. Maka, mulai Mei 2015, kawasan tersebut resmi dijadikan sebagai tempat wisata dengan nama Taman Bukit Breksi.
Libur Lebaran yang lalu, aku pun mengajak keluarga untuk berkunjung ke sana. Untuk menuju Tebing Breksi, tidaklah terlalu sulit. Dari Candi Prambanan, kami bergerak ke arah Piyungan atau Wonosari. Sekitar 3 km dari sana, kami menemukan papan petunjuk arah menuju Candi Ijo di kiri jalan. Kami pun berbelok mengarahkan kendaraan di situ.
Jalanannya ternyata sudah sangat bagus. Beda dengan ketika kami ke Candi Ijo dulu itu. Jalanan yang menanjak terus itu dulu masih aspal yang berlobang di sana sini. Sekarang, sudah dicor beton yang cukup tebal. Dengan demikian, perjalanan pun menjadi lancar dan nyaman.
Lebih kurang 1 km sebelum Candi Ijo, petunjuk menuju Tebing Breksi terlihat jelas di kiri jalan. Beberapa petugas yang kuyakin merupakan warga sekitar, menunjukkan kami jalan menuju kawasan wisata nan eksotis tersebut. Tidak ada biaya masuk yang perlu kami keluarkan. Petugas hanya meminta sumbangan seikhlasnya untuk biaya pengelolaan dan membayar jasa penitipan motor sebesar Rp 2.000,-/ motor dan Rp 5.000,- untuk mobil.
Memasuki kawasan tersebut, kami disuguhkan pemandangan yang sangat menarik. Terpampang di hadapan kami sebuah bukit bukit kecil setinggi kurang lebih 20 m. Bekas tambang warga dulu itu, menyisakan guratan-guratan indah di sisi tebing. Dan untuk melengkapinya, tangga menuju puncak tebing pun dibuat dengan memahat salah satu sisi dinding tebing. Terlihat sangat indah dan alami. Kabarnya, tebing ini mirip dengan brown canyon yang ada di Semarang. Entahlah, aku belum pernah ke sana soalnya.
Begitu sampai di puncak tebing, terlihat pemandangan lanskap yang luar biasa. Dari sini, kami melihat Candi Prambanan, dan Candi Barong yang dilatari oleh gagahnya Merapi. Tak hanya itu, di sisi lain terlihat alur sungai yang menembus bukit serta perkampungan warga dan hijaunya alam yang masih lestari.
Baca juga: Blusukan Ke Candi Barong
Karena kami datangnya pada siang hari, maka udara terasa cukup panas. Oleh karenanya, kami tidak ingin berlama-lama mengeksplorasi puncak bukit tersebut. Perlu berhati-hati bagi yang membawa anak kecil ke puncak bukit itu. Karena, ketika kami berkunjung ke sana, pagar pembatas di bibir bukit belum dibuat. Hanya baru dibatasi dengan tali. Sepertinya akan dibangun pagar permanen nantinya. Lobang-lobang untuk menanam tiang pagar sudah tersedia kulihat.
Turun dari puncak bukit, kami segera menuju mushalla yang terlihat apik di salah satu sudut kawasan tersebut untuk melaksanakan shalat Ashar. Mushalla-nya cukup bersih dan tertata rapi. Kami pun dapat menunaikan ibadah shalat dengan nyaman di sana.
Selepas menunaikan shalat, sayup-sayup kudengar suara musik dan lagu yang sangat khas. Rupanya itu berasal dari sebuah panggung terbuka yang terletak di kaki bukit. Setelah membeli beberapa botol minuman air mineral, kami segera melangkahkan kaki menuju ke sana. Area yang dinamakan Tlatar Seneng tersebut tengah menyuguhkan pertunjukan seni Jathilan alias kuda kepang. Sambil beristirahat dan menikmati senja yang mulai turun, kami pun ikut larut bersama penonton lainnya, menyaksikan petunjukan kesenian tersebut.
Sambil menonton, kuedarkan pandangan ke seluruh kawasan tersebut. Dalam hati aku mengagumi karya cipta alami ini. Alam semesta ini memang diperuntukkan bagi kita umat manusia. Namun, kita tidak boleh serakah. Ketika sudah terasa cukup, hentikanlah. Ada cara lain untuk bisa mengeksplorasinya dan menjadikannya sebagai sumber penghidupan. Menjadikannya obyek wisata seperti yang dilakukan warga sekitar Tebing Breksi ini adalah salah satu contohnya. Semoga tetap lestari.